Budi Daya Udang Laut

ISBN: 978–979– 29 – 1578– 5
Kategori: Buku DRM
Penerbit: Andi
978–979– 29 – 157
Dibaca: 0 kali
Indonesia adalah salah satu produsen utama udang dunia. Tahun 1990-an Indonesia menjadi produsen udang windu (Penaeus monodon) terbesar di dunia dengan produksi udang budi daya mencapai 250.000 pada tahun 1994 dan ekspor tertinggi dicapai pada tahun 1992 sebanyak 140.000 ton. Namun, prestasi yan...

Indonesia adalah salah satu produsen utama udang dunia. Tahun 1990-an Indonesia menjadi produsen udang windu (Penaeus monodon) terbesar di dunia dengan produksi udang budi daya mencapai 250.000 pada tahun 1994 dan ekspor tertinggi dicapai pada tahun 1992 sebanyak 140.000 ton. Namun, prestasi yang membanggakan sekaligus menguntungkan secara ekonomi tersebut tidak bertahan lama.

Tahun 1993 udang windu mulai diserang penyakit bintik putih (white spot) atau White Spot Syndrome Virus (WSSV). Virus ini meluluh-lantakkan industri perudangan nasional. Ekspor udang windu Indonesia yang pada tahun 1992 mencapai 140.000 ton turun menjadi 53.000 ton pada tahun 1999. Tambak terlantar atau ”tambak parkir” ada di mana-mana. Demikian pula panti benih atau hatchri (hatchery) terbengkalai karena tidak memproduksi benih udang atau benur, diikuti dengan kredit macet dan pengangguran yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.

Kondisi ini semakin parah karena pada pertengahan tahun 1997 krisis ekonomi menghantam negeri ini. Sekalipun krisis ini men-dongkrak harga komoditas pertanian, perikanan, dan peternakan, termasuk harga udang windu yang mencapai Rp.150.000/kg, namun harga yang melangit tersebut tidak mampu membangkitkan industri perudangan yang telah runtuh lebih dahulu sebelum datangnya krisis ekonomi.

Industri perudangan mulai menggeliat ketika pada 2000-an muncul spesies baru, yakni udang putih dari Amerika Serikat dan Hawaii, yaitu udang vanname (Litopenaeus vanname) dan udang rostris (L. stylirostris). Kedua spesies berhasil meningkatkan produksi dan ekspor udang Indonesia. Tahun 2008, produksi udang Indonesia mencapai 400.000 ton dan ekspor mencapai 170.000 ton. Dari produksi sebanyak 400.000 ton, dua udang introduksi tersebut menyumbang produksi sebanyak 323.000 dan udang windu se- banyak 146.000. Tahun 2009, target produksi udang sebanyak 540.000 ton. Namun target ini sulit tercapai, di antaranya ditengarai karena penurunan mutu benur udang putih. Dua udang introduksi sebelumnya tidak terserang virus karena berasal dari induk yang tahan penyakit (specific phatogen resisten, SPR) dan bebas penyakit

(specific phatogen free, SPF). Namun belakangan kedua udang tersebut diserang virus. Tahun 2003 virus taura atau Taura Syndrom Virus (TSV) ditemukan menyerang udang putih di Situbondo, kemudian virus myo atau Infectious Myonecrosis Virus (IMV) yang ditemukan tahun 2006.

Walaupun kegagalan sering menghantui pembudi daya udang, namun kisah sukses juga selalu menyertai pembudi daya. Karena itu, budi daya udang tetap prospektif, walaupun dengan risiko besar. Dari kisah sukses para pembudi daya udang ditemukan berbagai inovasi yang patut disosialisasikan. Ada petambak yang berhasil karena melakukan persiapan tambak dan pengelolaan kualitas air yang ketat, ada yang menurunkan padat penebaran, menerapkan cara budi daya organik, polikultur atau tebar gilir, dan sebagainya.

Berangkat dari situlah, penulis mencoba menyajikannya dalam buku ini. Penulis berharap buku ini berkontribusi pada bangkitnya industri perudangan nasional. Bagaimanapun, udang merupakan salah satu komoditas strategis di sektor perikanan, yang tidak hanya menyumbangkan devisa bagi negara, tetapi juga merupakan komoditas di mana banyak masyarakat menggantungkan hidupnya. 

Tulis ulasan
Silakan login atau mendaftar untuk memberikan ulasan

Belum ada ulasan untuk buku ini.